ANTARA CINTA, WANITA DAN NESTAPA
(Catatan Kecil Tentang Gibra Khalil Gibran)
Terlahir dengan nama Gibran Khalil Gibran, pada 6 Januari 1883 H, di Besharri -sebuah desa di atas Jabal Urz (Gunung Padi), Libanon. Dalam bahasa Arab tertulis Jubran khalil Jubran. Masa kecilnya sering kali dilewati dengan merenung seraya menatap pemandangan alami di atas gunung, terkadang duduk tenang sembari melayangkan pandangan ke telaga yang memancarkan air. Keluarga Gibran adalah pengikut gereja Katolik Haronite. Mereka berasal dari golongan masyarakat tingkat menengah yang sederhana. Ayahnya, Khalil Gibran bin Saad bin Yusuf bin Gibran, pernah meringkuk dalam tahanan. Ia terlibat pemalsuan pungutan pajak atas para petani di Besharri. Ia juga dikenal seorang pemabuk berat. Kendati demikian hubungan antara Gibran dengan Ayahnya terjalin kasih yang mendalam. Tak jarang mereka melancong menunggang keledai melihat laut dari puncak gunung padi. Sementara ibunya adalah Kamila binti Khury Asthofani, putri seorang pendeta Maronite yang terpandang didesa itu. Pada usia 18 tahun, ia berkeinginan keras menjadi biarawati, namun ditentang oleh seluruh keluarga, yang lantas menjodohkannya dengan pemuda bernama Abdul Salam. Kamila bertandang ke Brasil bersama suaminya yang kemudian dikaruniai anak bernama Petrus(Peter), dalam bahasa Arab tertulis Butrus. Satu tahun kemudian Abdul Salam meninggal dunia, hingga Kamila terpaksa kembali ke Libanon. Pada tahun 1877 M Kamila menikah lagi dengan Khalil Gibran bin Saad. Dari perkawinan yang kedua ini Kamila memperoleh tiga orang anak, yaitu Gibran Khalil Gibran, Mariana dan Sulthanah. Kamila menguasai beberapa bahasa (poliglot). Sang Ibulah yang pertama kali memperkenalkan kepada Gibran cerita-cerita Arab yang termasyhur seperti Harun Al- Rashid, Kisah Seribu Satu Malam, dan syair-syair Abu Nawas. Ia juga yang mendorong Gibran untuk mengembangkan seni lukisnya. Pengaruh wanita ini sangat besar dalam perkembangan jiwa Gibran. Gibran Khalil Gibran menghabiskan masa kecilnya dalam suasana serba kekurangan, di tengah-tengah himpitan ekonomi yang melanda Libanon. Secara umum, faktor lemahnya ekonomi membuat seseorang, atau kebanyakan orang berpindah dari satu negara ke negara lain untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Demikianlah, Kamila bersama-sama keempat anaknya Petrus, Khalil Gibran, Mariana dan Sultanah hijrah ke Amerika Serikat, langsung menuju Boston, di sebuah kawasan Pacinan (China Town). Sedangkan suaminya tidak turut serta, karena berbagai alasan. Di kawasan ini banyak menetap orang-orang dari Besheri (Libanon) dan juga orang-orang dari Syiria. Dengan demikian keluarga Gibran tidak terlalu banyak menghadapi kesulitan berada di kawasan ini. Untuk melengkapi hidupnya di kawasan ini, mereka mulai mencari nafkah. Kamila, Petrus dan kedua anak perempuan mulai bekerja. Sedangkan Gibran tidak diperkenankan oleh ibunya untuk bekerja, karena ia harus melanjutkan sekolahnya agar kelak menjadi orang pandai dan terkenal. Gibran dikirim ke sebuah sekolah negeri di Amerika tempat belajar anak-anak segala bangsa. Di sini Gibran merupakan anak yang pandai, bahkan genius. Dalam waktu dua tahun ia telah dapat menggunakan bahasa Inggris dengan baik dan memahami buku-buku tanpa kesulitan. Setelah melewati waktu dua tahun, kehidupan mereka cukup lumayan, bahkan bertambah baik. Harapan mereka terpenuhi ,karena dapat menyekolahkan Gibran ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Pada tahun 1898 Gibran kembali ke tanah airnya, Libanon. Ia belajar di sekolah Kristen Maronite Al-Hikmat, Beirut, khusus untuk bidang bahasa dan kebudayaan Arab. Dalam masa liburan sekolah, Gibran selalu mengunjungi ayahnya di Besherri. Sang Ayah pun sering mengajaknya berkemah di gunung-gunung dan mengunjungi tempat-tempat bersejarah. Gibran kembali sering menikmati segarnya udara pegunungan Libanon. Sebuah kenangan indah bersama sang ayah yang tak mampu dilukiskan, memenuhi jiwanya. Gibran sering mengunjungi biara tua. Mar Sarkis yang terletak di lembah pegunungan yang sunyi. Di tempat ini, ia sering duduk menghabiskan waktu. melempar pikiran ke masa depan. Ia ingin membeli biara tua ini, jika ia sudah menjadi kaya. setelah di Amerika kelak menjadi orang terkenal. Saat-saat liburan inilah Gibran jatuh cinta yang pertama kali kepada seorang wanita, Hala Dahir namanya. Ia adalah cinta pertama Gibran. Sebuah hubungan perasaan yang membuat pikiran-pikirannya tergenang oleh renungan- renungan, yang dapat melahirkan kalimat-kalimat lembut. Terkadang pula menghasilkan hentakan-hentakan dahsyat, keras bagaikan prahara. Awal kisahnya seperti percintaan klasik, ia jatuh cinta pada pandangan pertama. Gibran sering bertandang ke rumah Hala, untuk membantu adik-adik Hala menyelesaikan pekerjaan rumah. Saat-saat inilah kedua insan sering bertemu dan saling mengungkapkan isi hati, hingga cinta merasuk ke dalam kalbu, terpatri kokoh dalam relung hati masing-masing. Meski cinta sudah membara, namun kenyataan bicara lain. Gibran mengalami hambatan dalam bercinta dengan Hala Dahir. Sebab hubungan ini tak mendapat restu dari keluarga Hala. Iskandar Dahir, kakak Hala, sempat bertutur kepadanya: "Aku tidak akan menyetujui anak gembala pemungut pajak petani itu menjadi suamimu". Hala tak kuasa menghadapi situasi seperti ini. Sampai akhirnya Hala dijodohkan dengan pemuda pilihan orang tua, persis seperti diceritakan dalam Sayap-Sayap Patah, di mana Hala diganti dengan tokoh Selma Karamy. Meski Hala sudah dinikahkan, Gibran tetap berkunjung ke rumah kekasihnya itu. Diajaknya Hala menikmati pemandangan alam pegunungan sambil mengenang masa manis yang silam, tanpa peduli resiko yang akan terjadi. Hubungan Gibran dengan Hala hanya berlangsung dua tahun. Hala pergi ke alam baka untuk selamanya. Cinta kedua Gibran setelah Hala, jatuh kepada Sultanah Thabit. Wanita ini dijumpai ketika Gibran masih belajar bahasa Arab di sekolah al-Hikmah, di Beirut. Ia adalah seorang janda berusia 22 tahun. Sedangkan Gibran baru berusia 18 tahun. Mereka sering bertukar buku dari berkirim surat. Gibran memang mencintai Sultanah, karena rasa iba, sebab sudah menjadi janda dalam usia muda. Pada tahun 1903, Gibran kembali ke Boston. Ia mendapatkan suasana yang lain, Sultanah, adiknya meninggal dunia setahun yang lalu (4 April 1902). Masih pada tahun 1903, Petrus, saudaranya meninggal dunia. Dan musibah yang terberat datang tiga bulan kemudian, ibu yang amat disayanginya meninggalkan Gibran untuk selama-lamanya menghadap ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa. Musibah yang berturut-turut menimpa Gibran ini meninggalkan bekas yang amat dalam pada jiwa penyair ini, dan telihat jelas dalam karya-karya selanjutnya. Inilah duka nestapa yang teramat berat bagi Gibran Khalil Gibran. Pada tahun 1904 tulisan pertamanya dimuat di al- Mulhajir, sebuah surat kabar di Amerika Serikat dalam bahasa Arab. Kegiatan Gibran lebih banyak pada menulis dan melukis.
Gibran mengadakan pameran lukisan yang pertama pada tahun 1904, berkat bantuan juru potret Fred Holland. Karya-karyanya banyak mendapat pujian, namun tak seorang pun yang membelinya. Diantara para pengunjung pameran, ada seorang wanita yang tersentuh hatinya dengan karya Gibran yang bernafaskan agama itu. Ia adalah Mary Haskell, seorang kepala sekolah. Ia menawarkan kepada Gibran untuk memamerkan lukisanlukisannya di sekolahnya. Dari pertemuan ini menghasilkan jalinan persahabatan sejati, sehidup semati yang didasari oleh cinta platonik, yang lepas dari nafsu birahi. Mary Haskell menjadi pendorong bagi Gibran dan sponsor segala kegiatan. Ia juga yang mengoreksi karya-karya Gibran yang berbahasa Inggris. Di samping Mary Haskell, Gibran juga menjalin hubungan dengan seorang guru asal Perancis, Micheline panggilan akrabnya dari beberapa wanita yang lain, tetapi tak pernah sampai kepada hubungan serius menuju perkawinan. Gibran tak mau terikat dengan tali perkawinan, karena ia menyadari bahwa peraturanperaturan yang mengikat suatu perkawinan akan membelenggu jiwanya. Kebebasan adalah mutlak baginya. Karena itu, ia tak pernah menikah. Atas biaya Mary Haskell, pada tahun 1908 Gibran berangkat ke Perancis untuk mendalami seni lukis. Di kota Paris, ia belajar seni lukis kepada pelukis terkenal Auguste Rodin. Pada tahun ini pula Gibran tampil untuk pertama kali sebagai pengarang melalui bukunya Arwah al-Mutamaridah. Buku ini menyoroti tajam institusi gereja dan peraturan-peraturan pemerintah yang dianggapnya bobrok, yang dibuat untuk menindas rakyat dengan kedok keadilan. Reaksi yang keras atas buku ini datang dari pemerintah Ottoman Turki. Akibatnya semua buku Gibran yang ada di pasaran dibakar dan penerbitan selanjutnya dihentikan. Sebagai hukuman, Gibran pun dikucilkan dari keanggotaan gereja Haronite. Selama dua tahun (1908 -1910), Gibran belajar di Paris, di Academie Yulien dari Ecole Des Beaux Arts. Lalu ia pun kembali ke Boston. Pada tahun 1912, Gibran pindah ke New York dan menetap di sana. Di kota ini pun biaya hidupnya masih ditanggung oleh Mary Hakell, hingga tahun 1920. Cinta mereka berdua begitu mendalam. Tak seorang pun dapat mengubah hubungan mereka. Bahkan mereka ibarat satu jiwa yang tak bisa dipisahkan. Cinta Gibran pernah dipaparkannya melalui surat-surat. Sebanyak 319 surat dilayangkan Gibran kepada Mary. Sedang Mary sendiri menulis 206 surat kepada Gibran. Gibran menulis surat kepada Mary: "Aku senantiasa mencintaimu sepanjang abad. Sungguh, aku terlalu mencintaimu sejak aku belum mengenalmu. Dan tak seorangpun yang mampu memisahkan kita. Engkau pun tak akan mampu mengubah hubungan kita, juga aku, juga Tuhan. Sebenarnya aku memiliki kesempatan banyak untuk mencintai wanita-wanita lain, baik di Boston maupun di Paris. Tapi antara aku dan kau sudah demikian lekat. Dan aku sangat berharap kepadamu, agar engkau selalu mengenal diriku. Di dunia ini engkau adalah wanita yang paling agung bagiku. Dan ikatan jiwa kita tidak akan lepas, meskipun engkau kawin tujuh lelaki yang berbeda-beda". Itulah bentuk cinta Gibran kepada Mary. Bangunan cinta yang mereka ciptakan, sebetulnya tidak dilandasi cita-cita sebuah perkawinan. Sehingga akhirnya Mary Haskel kawin dengan laki-laki lain. Dan, seperti pengakuannya dalam suratnya kepada Mary itu. Gibran terus mencintai Mary. Pada tahun 1926, tiga tahun setelah buku al-Nabiy (The Prophet) terbit, Mary memutuskan untuk meninggalkan Gibran. Mary bersama suaminya meninggalkan Boston dan menetap di Savana. Georgia. Filosof Libarlon ini boleh dibilang suka bermain cinta. Ia bisa jatuh cinta setiap saat, dengan siapa saja, tanpa memutuskan hubungan dengan wanita sebelumnya. Gibran juga pernah jatuh cinta kepada May Ziadah. Ia adalah sastrawati ternama yang menetap di Kairo, Mesir, Ayahnya bangsa Libanon dari ibunya berasal dari Palestina. Di samping itu Gibran pun jatuh cinta kepada sekretaris pribadinya yang bernama Barbara Young. Gibran adalah seorang penyair yang penuh dengan gejolak cinta sejati Menurutnya: "Cinta tidak berkeinginan selain mewujudkan maknanya". Ujud dari pada cinta bagi Gibran adalah kebebasan dari keterpautan hati meski tak menjadi satu raga. Inilah contoh cinta yang melandasi hubungannya dengan Hay Ziadah. Dari perjalanan hidupnya, dari wanita-wanita yang dekat dengannya, tak satu pun yang pernah mengukir mahligai perkawinan. Sampai akhir hayatnya. ia tetap melajang . Pada masa sepuluh tahun pertama, sejak ia pindah ke New York, Gibran mulai dikerlal orang, baik di Arab mau pun di Barat. Ia dikenal bukan hanya melalui lukisan- lukisannya, tetapi juga melalui tulisan-tulisannya. Ia menulis dalam bentuk puisi, parabel, cerita pendek dan esei. Keharuman namanya menjadi cambuk untuk terus bekerja tanpa memperhatikan kondisi dirinya. Sehingga tak terasa bahwa dirinya telah mengidap penyakit paru-paru dan hati yang kronis. Pada tangga 19 April 1931. Seorang sekretarisnya Barbara Young menemukan Gibran dalam keadaan kritis kamarnya. Lalu dibawanya ke rumah sakit. Pada keesokan harinya Jumat 10 April 1931, Gibran Khalil Gibran meninggal dunia. Ia menutup mata untuk selama-lamanya dalam usia 48 tahun. Jenazah Gibran tidak dimakamkan di tanah airnya yang baru, Affrika. Ia selalu merindukan Wadi al-Qadisa (Libanon) dan ingin kelak tubuhnya dibaringkan dengan Biara tua yang sunyi. Har Sarkis ditemani oleh pohon-pohon cedar. Itulah permintaan yang kemudian menjadi kenyataan. Semua bukunya baik yang sudah terbit, maupun yang belum, ia wariskannya kepada penduduk Besharri, yang kemudian disimpannya di sebuah museum kecil. Masa lalu Gibran Khalil Gibran memangg sarat dengan kepedihan clan kehilangan. Sejak dirinya dipaksa untuk memahami maut sebagai perenggut tawa dan senyumnya. Maut telah merenggut orang-orang yang dicintainya. Betapa berat musibah yarlg dipikul oleh Gibran, saat Sultanah, saudara perempuannya meninggal, pada tahun 1902. Saat Peter (Butrus), saudara laki-lakinya meninggal pada tahun 1903. kehilangan orang-orang yang dicintainya itu terus berlanjut pada puncaknya, yakni kehilangan wanita yang paling ia cintai, ibunya. Ibu bagi Gibran adalah segalanya, seperti yang ia katakan : "... kata terindah di bibir umat manusia adalah kata ibu, danpanggilan terindah adalah ibuku". Ketiga kehilangan besar yang berturut-turut itu tidak saja memukul jiwanya tetapi juga berpengaruh bagaimana Gibran memperlakukan Tuhannya, Cedera psikologis berpengaruh pula pada kesehatannya. Dari percobaan -percobaan yang ia lakukan dari perjalanan-perjalanan yang ia lewati semata-mata hanya untuk mendekati sang ibu atau wanita lairn yang menyerupainya, Gibran bisa mencintai wanita tapi tak bisa untuk menikahinya. Ini ah kehidupan anak-anak Apolon yang terbuang ke negeri asing yang pekerjaannya menjadi asing jalannya lamban, dan tawanya adalah tangis, Akhirnya dalam urainan ini, tentunya penulis ini akan mampu mengungkapkan pribadi Gibran secar utuh. Sebab, Mikhail Naimah saja, yang hidup menemainnya selama lima belas tahun mersa was – was mengungkapkan kehidupan gibran. “kalau ada yang ingin mengetahuinya, harus meneliti semua karya yang ditulis Gibran, mulai dari Al – Musiqo (musik) hingga Al-Taih (sicongkak)
...sayang!...kamu selalu di hatiku...semakin hari kamu semakin mengagumkan!...kamu selalu tahu apa yang aku inginkan tanpa aku memintanya...kamu benar-benar sangat mengagumkan...! dengan segala yang kamu miliki...satu hal lagi yang membuat kamu sangat berharga bagiku...ialah ketika aku di hadapkan pada sebuah pilihan...maka dengan tanpa sedikitpun keraguan aku akan memilih kamu!......dari semua pribadi yang ku kenal hanya kamulah yang mampu menyentuh jiwaku dengan sempurna....kamu telah berhasil meretas jauh kedalam inti jiwaku dan bersemayam bersama kasih yang kau limpahkan...kau bukan hanya inspirasi..kamu adalah cinta!..kemurnian cintamu ..membuatku sangat berharga kedalaman kasihmu membuatku bahagia...kamu bukanlah segalanya...bagiku...tapi segala yang ada padaku hanyalah untuk kamu!...kamu tidak saja mengetarkan dadaku ketika kamu bicara...kamu telah menggetarkan jiwaku dengan kemurnian cintamu...bahkan ruh ku pun bersahaja ketika kamu merasuki semua kehidupanku....terima kasih ALLAH...terima kasih kehidupan...dan terima kasih KEKASIHKU...aku selalu mencintaimu..AGUS.yang selalu BUDI SANTOSO untuk..ALIM. yang paling MARFA'ATUN...